Bedera Batak
Tanah Batak
SWB kemudian
menjadi warna penghias atau ornamen hasil kerajinan suku-bangsa Batak,
seperti: ulos (kain Batak), banguan-bangunan hasil kerajinan suku-bangsa Batak,
dan lain sebagainya. Tujuannya tidak lain untuk selalu mengingatkan
orang-orang Batak akan hadienya tiga banua di Alam Raya ini, dan hidup di Banua
Tonga yang dijalani: manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan sesungguhnya adalah "perjalanan
agung" mahluk dari Banua Ginjang menuju Banua-Toru dengan terlebih dahulu
singgah di Banua-Tonga untuk membuat persiapan sebelum melanjutkan perjalanan
ke Banua-Toru. Berbagai penerapan trilogi Batak dapat diketengahkan sebagaimana
yang dikengahkan oleh pen-jelasan dibawah ini:
Tungku
Dari SWB, Trilogi
Batak lalu berpindah ke tataring (tempat bertanak) yang menjadi pusat kehidupan
manusia setelah mengenal api. Makanan adalah hangoluan (kehidupan) kata mereka,
dan untuk menyangga periuk tanah (tempat hangoluan berada) di atas bara api
yang yang menyala, diperlukan tiga dalihan (tungku). Dua dalihan tidak
cukup, karena periuk diletakkan akan terjungkal, sedangkan empat dalihan
terlalu banyak bilangannya; hanya tiga buah yang tepat. Inilah yang kemudian dinamakan:
Trilogi Tataring Batak, disingkat TTB.
Masyarakat
Dari TTB, Trilogi Batak merambah kedalam
hidup bermasyarakat untuk bersosialisasi dalam komunitas di Bona Bulu.
Sebagaimana dengan tataring yang memerlukan tiga dalihan untuk menyangga
periuk, orang-orang Batak yang hidup dalam sebuah komunitas menurut Ompu
Simulajadi, juga memerlukan tiga dalihan untuk menopang kebersamaan hidup dalam
masyarakat. Perlu terdapat lebih dahulu: kahanggi di tengah,
yakni kelom-pok persaudaraan yang bermarga sama datang dari seorang Ompu
parsadaan (leluhur pemersatu) yang bertindak sebagai dalihan pertama.
Agar dalam perjalanan waktu ka-hanggi dapat bertambah bilangannya, perlu ada
kelompok persaudaraan marga-marga lain yang mendatangkan ina (ibu) kepada
kahanggi untuk melanjutkan generasi. Kelom-pok persaudaraan marga-marga akhir
ini kemudian menjadi dalihan kedua, yang dalam masyarakat Batak disebut:
Mora, atau Hula-hula. Selanjutnya masih ada kelompok per-saudaraan
lain, juga datang dari berbagai marga, kemana kahanggi mengutus anak-anak gadis
mereka untuk menjadi ina disana, yang melahirkan dalihan ketiga, dan
dalam ma-syarakat Batak dinamakan: Anakboru.
Dengan
demikian muncul dalam masyarakat Batak tiga dalihan (tungku) untuk menyang-ga
hidup berkelompok, yakni: Kahangi, Mora, dan Anakboru menjadikan:
Sekawan Ma-syarakat Batak, disingkat SMB, yang menjadikan lingkungan hidup
sehari-hari untuk orang Batak di Bona Bulu, selama berada di Banua-Tonga menjalankan
ajaran Ompu Simulajadi. Istilah lain yang juga dapat digunakan: Trilogi Masyarakat
Batak, disingkat TMB, atau Trilogi Sosial Batak, disingkat TSB.
Dikalangan masyarakat Batak di Bona Bulu dan perantauan SMB, atau TMB, atau
TSB, lebih dikenal dengan nama: Dalihan Na Tolu, disingkat DNT, atau Tungku
Yang Tiga, disingkat TYT, yang dalam bahasa Indo-nesia artinya: keluarga besar
(big family). Selain dari itu DNT menjadi unsur pengikat hidup berkelompok dalam
masyarakat, dan menyediakan pemecahan berbagai persoalan secara kekeluargaan yang demokratis.
Masyarakat
Batak mengembangkan sistem kekerabatan patrilenial (garis bapak) dalam
marga, sebaliknya masyarakat Minang menerapkan sistim kekerabatan metrilenial
(gais ibu) dalam marga. Dalam sistim patrilenial ayah dinamakan
suhutsihabolonan (kepala keluarga) sekaligus pemimpin suhut (keluarga batih),
dan mewariskan “nama marga” pada turunannya (anak-anaknya). Kahanggi adalah
kumpulan suhut yang bermarga sama datang dari Ompu Parsadaan (Kakek Pemersatu)
yang mendiami sebuah kampung atau luhat. Karena bermarga sama, maka komunitas
kahanggi dinamakan juga kumpulan do-ngan sabutuha (teman sekandung), meski
datang dari para ibu beragam marga. Yang menjadi ukuran persaudaraan dalam
kahanggi, atau kumpulan suhut, ialah persaudaraan keluarga batih bermarga sama
tidak perlu lahir dari ibu yang sama atau ibu yang semarga, namun datang dari
ayah yang bermarga sama. Bukankah para orang tua mereka silam, pada tingkat Kakek
Pemersatu yang masih dikenali, bermarga sama.
Meski
di Bona Bulu atau kampung halaman masyarakat Batak menerapkan sistim patri-lenial
dalam kehidupan semarga atau kahanggi, akan tetapi sistim kekerabatan
matrile-nial juga digunakan khususnya terhadap kelompok-kelompok masyarakat
bermarga lain dalam komunitas tempat bermukim selama berada di Banua-Tonga.
Kepada marga-marga yang mendatangkan ibu kepada kahanggi, orang Batak
menamakan mereka: mora, karena marga akhir ini mendatangkan keturunan yang
memperbanyak bilangan kahanggi. Mora adalah mata-air kehidupan bagi kahanggi,
itulah pula sebabnya mengapa mora yang telah mendatangkan ibu bergenerasi pada
kahanggi dinamakan "matahari naso gakgahon” (matahri yang tidak tertatap)
karena akan sangat menyilaukan mata yang menatapnya. Mora juga yang
mendatangkan habisukan (kecerdikan) kepada kahanggi, karena itu mora pantas disabut
dengan sikap hormat dinamakan: “hormat mar mora” (hormat terhadap mora). Sebaliknya
mora mempunyai kewajiban membimbing kahanggi yang menjadi anakborunya dengan
apa yang dinamakan: “elek ber anakboru” (pandai mengambil hati) selama berada di
Banua-Tonga guna persiapan meneruskan perjalanan ke Banua-Toru nantinya.
Kepada marga-marga
yang mendapat ibu dari kahanggi dinamakan: anakboru, karena marga-marga
ini manjadi penolong setia kepada kahanggi. Anakboru dikatakan juga: “na gogo
manjujung” (yang kuat menjujung), “sitamba na hurang si horus na lobi” (si pe-nambah
yang kurang dan si pengerus yang lebih) dalam lingkungan kahanggi yang menjadi
mora mereka. Dengan memanfaatkan kombinasi sistim patrilenial dalam
marga de-ngan sistim materilenial antar beragam marga, komunitas
suku-bangsa Batak di Bona Bulu mengembangkan jaringan kekerabatan keluarga
besar terdiri dari: kahanggi (kelom-pok persaudaraan semarga), mora
(kelompok persaudaraan berbagai marga pemberi ibu), dan anakboru
(kelompok persaudaraan penerima ibu) yang meluas dari kampung hala-man di
Tapanuli hingga perantauan. Kumpulan tiga marga suku-bangsa Batak ini lalu
menjadikan: "Dalihan Na Tolu", atau "Tungku Yang Tiga", dan
dalam bahasa Idonesia dikenal dengan keluarga besar.
Dengan adanya
SMB, kerjasama kemasyarakatan mampu memelihara kerukunan hidup beragam marga
dalam komunias Batak dapat berjalan dengan baik. Dalam kerjasama ke-masyarakatan
demikian mora mendatangkan ibu kepada kahanggi sehingga bilangan akhir ini bertambah
jumlahnya, begitu pula kahanggi berbuat yang sama kepada anakboru mereka.
Difihak sebaliknya anakboru menjadi penolong setia kepada mora dan mela-kukan
berbagai pekerjaan moranya, baik dalam siriaon (kebahagiaan) maupun siluluton
(kedukaan). Mora juga setiap saat siap untuk memberi bimbingan dan kebijakan
pada anakborunya dalam kehidupan. Dengan demikian SMB menjadikan kehidupan
komunitas suku-bangsa Batak di Banua Tonga penuh dengan keakraban dan kerukunan
jauh dari segala macam keterasingan.
Perkawinan
Dalam lingkungan SMB Adat Batak telah
mengatur perkawinan keluar marga, atau eksogami. Nauli bujing (anak
gadis) mora hanya dapat dipaebat (dinikahkan) dengan naposo bulung (anak
laki-laki) kahanggi, demikia pula nauli bujing kahanggi hanya boleh dipa-ebat
dengan naposo bulung anakboru; akan tetapi tidak untuk sebaliknya.
Inilah yang di-namakan adat perkawinan tidak-simetris (asimetris). Ini
dilakukan untuk menghindarkan nauli bujing anakboru dipaebat dengan
naposo bulung kahanggi, begitu juga nauli bujing kahanggi dipaebat dengan
naposo bulung mora, karena akan menimbulkan rompak tutur (rusaknya pertuturan),
karena akan menyalahi adat hormat kepada mora dan elek ber- anakboru yang sudah
ditetapkan dalam bertutur.
Tutur
ialah kaidah bertegursapa yang telah diajarkan dalam Adat Batak kekerabatan DNT,
yakni kaidah bertegursapa antara mereka yang berbeda generasi; yakni oleh
mereka yang lebih muda kepada yang lebih tua atau sebaliknya bersifat vertikal,
maupun kaidah yang sama diantara mereka segenerasi tetapi berbeda kedudukan
dalam Adat Batak, seperti: kahanggi, anakboru, mora yang horizontal; begitu
juga arah tegursapa. Tutur telah menjadi alat hapantunan (kesopanan) dalam
pergaulan hidup dalam masyarakat Batak terlebih dalam pergaulan sehari-hari di lingkungan
DNT yang sangat dihormati, dan amat diper-hatikan pelaksanaannya dalam hidup
bermasyarakat. Kesalahan mengucapkankan tutur sapa kepada seseorang di
masyarakat Adat Batak yang masih kuat, akan berakibat mendapat koreksi
langsung di tempat, lengkap dengan penjelasan yang menerangkan menga-pa harus
demikian.
Selain
oleh alasan rusaknya tutur disebutkan di atas, adat perkawinan tidak simetris
juga dipengaruhi peran yang dimainkan unsur-unsur Dalihan Na Tolu, yakni:
kahanggi, mora, dan anakboru dalam pelaksanaan sebuah perhelatan adat. Dalam sebuah
perhelata adat yang dilakukan kahanggi, baik siriaon maupun siluluton, kahanggi
mendapat bantuan tena-ga dari anakborunya, sedangkan mora menyumbangkan buah
fikiran yang diperlu-kan agar acara berjalan sebagaimana seharusnya.
Naposo
bulung suatu marga juga dinamakan Sisuan Bulu (Sipenanam Bambu), adalah pemuda pembela
kampung halaman yang menjadi andalan kahanggi di Bona Bulu dan anggota keluarga
lainnya. Karena itu ia perlu didampingi nauli bujing yang menjadi rongkap ni
tondi (pasangan hidup) baginya dan bertindak sebagai Sisuan Pandan (Sipenanam
Pandan) di kampung kebanggaan itu. Perlu diketahui, Adat Batak melarang
naposo bulung menikah dengan nauli bujing dari marga yang sama, atau dinamakan
perkawinan semarga (endogami). Ini disebabkan orang-orang yang sermarga
masih bersaudara dan tergolong seayah dan
seibu, dan akan menjadi incest yang terlarang dalam Adat Batak.
Diumpamakan
tataring, perkawinan sejoli ini, adalah ibarat tungku dua dalihan, periuk yang
diletakkan diatasnya akan terjungkal. Dalam keidupan bermasyarakat, pasangan
ini tidak memiliki mora, karena itu tidak mudah bergabung dalam kekerabatan DNT
meng-hadapi perhelatan siriaon dan siluluton. Dalam lingkungan keluarga besar,
sejoli demikian tidak mendapat habisuhon na sian mora (tuntunan dari moranya),
dan tidak juga dapat melakukan somba (hormat) kepada mora. Karena melaksanakan
perkawinan se-marga yang menyalahi Adat Batak, salah seorang dari mereka harus
mengganti marga- nya lewat sebuah horja (acara adat), agar nama keduanya
kembali dapat disuratkan kedalam tarombo (silsilah keluarga).
Nilai
Dari SMB, Trilogi Batak merambah pula ke
ranah nilai (value) dalam kehidupan keluarga besar. Mora dikatakan na
mangalehen hangoluan (yang pemberi kehidupan) pada kahanggi. Mora soksok
dikatakan kepada marga yang pertama kali mendatangkan ina (ibu) kepada
kahanggi. Keluarga-keluarga yang telah mendatangkan ina lebih dari tiga
generasi kepada kahanggi dinamakan Mataniari naso gakgahon (Matahari yang tidak
tertatap). Mora i ma mual ni hangoluan (Mora ialah mata air kehidupan); Mora i
ma na mangalehen habisuhon (Mora ialah yang pemberi kecerdikan). Itulah
sebabnya mengapa turun perintah Adat Batak pada kahanggi yang mengatakan agar:
“somba mar Mora” (hormat kepada Mora).
Kahanggi
dinamakan dongan sabutuha (teman sekandung), adalah lingkungan hidup se-marga.
Orang-orang yang bersaudara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, dan tak
seorangpun boleh lebih atau kurang dari yang lain. Kahanggi ialah lingkungan
hidup di Bona Bulu, tempat mereka yang hidup senasib dan sepenanggungan
mempertahankan marga dan kampung halaman dari musuh yang meyerang. Karena itulah
turun perintah Adat Batak yang mengatakan agar: ”manat-manat markahamaranggi”
(pandai-pandailah hidup bersaudara).
Anakboru
dikatakan: nagogo manjujung, na ringgas mangurupi Morana (yang kuat menjujung
di kepala dan rajin menolong moranya). Anakboru dikatakan juga: sitamba na
hurang, sihorus na lobi (si penambah yang kurang dan si penguras yang lebih)
dalam per-helatan Adat Batak, baik siriaon maupun siluluton di lingkungan
kahanggi. Itulah pula sebabya mengapa turun perintah Adat Batak yang mengatakan
agar: “elek mar anakboru” (pandailah mengambil hati anakboru)
agar tenaga mereka selalu dapat dimanfaatkan. Dengan demikian: Somba mar
Mora, Manat mar Kahanggi, dan Elek mar Anakboru
menjadi Trilogi Nilai Batak, disingkat TNB yang amat berguna untuk memelihara hubu-ngan kekerabatan dalam lingkungan DNT
(TYT) suku-bangsa Batak, agar kebersamaan yang harmonis senantiasa terjaga dari
Bona Bulu sampai dengan perantauan, selama ber-diam di Banua-Tonga.
Karena
hidup di Banua-Tonga atau Alam Kedua bersifat sementara, hanya serentang hayat,
maka untuk menjaga kerukunan hidup komunitas suku-bangsa Batak di Bona Bulu,
Adat Batak menurunkan perintah agar: “inte disiriaon, tangi disiluluton“
(menanti khabar bahagia, menyimak berita duka). Selain dari pesan untuk masyarakat
DNT dikemukakan diatas, ada lagi perintah Adat Batak bagi perorangan (individu)
yang memerlukan perha-tian masyarakat Bona Bulu ketika itu, tua maupun muda, ialah
apa yang dikenal dengan: hamoraon, hagabeon dan hasangapon.
Mora bermakna teladan, sehingga
hamoraon berarti keteladanan yang mencakup: keakraban, taat hukum, berpandangan
maju, penuntut ilmu dan pengetahuan, penyayang sekaligus pelindung, pandai
menengahi perbedaan guna kerukunan, beriman, dan lain sebagainya; bersarang
dalam Tondi (jiwa/semangat/kharisma) yang menggerakkan Roha
(akal/fikiran/budi) seorang insan. Inilah yang dinamakan: harta batin
(wealth of the soul) dimilik seseorang bergelar: halak namora
(manusia teladan). Gabe artinya kaya, sehingga hagabeon bermakna kekayaan
yang dimiliki orang yang meliputi: keturunan, rumah, harta benda, sawah
ladang, tabungan bank dan lain sejenisnya terdapat di dunia yang diku-asai seseorang.
Inilah yang disebut harta lahir (the material wealth) yang dimiliki
orang bergelar: halak nagabe (orang
kaya). Adapun hasangapon berasal dari sangap yang artinya
martabat (dignity), berhasil
dicapai seorang menjalani hidup di Banua-Tonga dari keturunan dengan gelar
bangsawan atau lainnya. Martabat dapat dicapai dengan harta batin, maupun harta
lahir, dan keturunan (Raja, Presiden, bangsawan, atau lain sejenisnya).
Tujuan
Hidup
Hamoraon, hagabeon, dan hasangapon merupakan
jalan bagi manusia untuk meraih martabat hidup berdiam di Banua-Tonga.
Dengan hamoraon orang meraih martabat dengan harta batin yang dikuasainya.
Dengan hagabeon orang juga dapat meraih marta-bat dengan harta lahir yang dimilikinya.
Akan tetapi dengan hasangapon diperoleh lewat keturunan, seperti: putra atau
putri Raja, kaum bangsawan, atau orang tersohor
lainnya, maka yang bersangkutan perlu membuktikannya, karena bila tidak kehormatan
disandang akan tergerus dengan sendirinya menelusuri perjalanan waktu. Ini
disebabkan, karena sesuatu yang bersifat martabat tidak mungkin diraih tanpa perjuangan.
Martabat (dignity) jenis ini ibarat
kredit (utang) yang perlu dilunasi untuk mendapat pengakuan.
Manakala dengan harta
batin orang dapat membina kehidupan harmonis yang mendatangkan damai dan
sejahtera kepada sebuah komunitas kehidupan, maka orang itu akan meraih martabat
di Banua-Tonga. Demikian juga manakala dengan harta lahir orang mu-dah
berbagi dengan sesama untuk mengatasi penderitaan pasca sebuah bencana alam
misalnya, orang itu juga akan meraih martabat. Akan tetapi untuk kaum bangsawan
atau setaranya, mendapat martabat lewat keturunan perlu membuktikannya agar
dapat diterima masyarakat. Itulah sebabnya mengapa seorang
pangeran, atau putri kerajaan, perlu memperlhatkan kecakapan menegakkan
keadilan dalam masyarakat untuk mem-pertahankan kelayakan martabat yang
disandang. Selain martabat bersifat positif dikemu-kakan diatas, terdapat juga di
dunia ini martabat negatif yang menjerumuskan seseorang ke lembah hina dina
yang menyengsarakan kehidupannya di Banua Tonga, manakala hamoraon dikuasai, hagabeon
dimiliki, dan hasangapon disandang tidak dipersembahkan untuk kemaslahatan
orang banyak.
Seperti
yang telah dikemukakan sebelumnya, badan bernama pamatang ini hanya sebuah pinjaman
dari Banua-Tonga, demikian juga: hamoraon, hagabeon, dan hasangapon yang kemudian menyusul. Ketika tondi melanjutkan
perjalanan menuju Banua-Toru, setelah mahluk mengembalikan badan (materi), semua
yang didapat dari Banua-Tonga: hamo-raon, hagabeon, dan hasangapon, maka yang tinggal
hanya hasangapon saja. Hanya ha-sangapon yang menemani seseorang (tondi) meneruskan
perjalanan menuju Banua-Toru, dan hasangapon pula yang akan ditinggalkan orang di
Banua-Tonga, atau alam fana, atau dunia ini.
Dengan
demikian hamoraon, hagabeon dan hasangaon menjadi Trilogi
Tujuan Hidup, disingkat TTH, yang diajarkan
Ompu Simulajadi di Bona Bulu silam perlu memperoleh perhatian. TTH bermaksud
menerangi hati perorangan (individu) suku-bangsa Batak yang tengah bergiat menemukan celah dalam belantara
kehidupan Banua-Tonga, untuk menyongsong datangnya terang sinar matahari yang menerobos
hati nurani, guna menemukan pilihan yang sesuai untuk diri selama berdiam di
Banua-Tonga.
Silsilah
Dari TTH, Trilogi Batak lalu merambah ranah
pembuatan catatan (dokumen) dengan me-ngelompokkan suku-suku bangsa Batak
kedalam berbagai marga dalam mewujudkan ja-ringan kekerabatan Dalihan Na Tolu,
dan menghimpun semuanya kedalam tarombo (silsilah) suku-bangsa Batak. Tarombo
berawal dari sebuah ingatan kekerabatan dalam kenangan suku-bangsa Batak yang
kemudian beralih menjadi tulisan, bagaimanapun cara penyusunannya, akan segera menunjukkan
marga kahanggi menyusunnya. Lalu akan tampak nama-nama marga kemana anak-anak
gadis kahanggi pergi menikah untuk men-jadi ina (ibu) di berbagai kampung di
Bona-Bulu, yang menjadi anakboru dari kahanggi.
Kemudian akan tampak pula sejumlah
marga lain yang mendatangkan anak-anak gadis kepada kahanggi untuk menjadi ina
(ibu) anak-anak kahanggi di kampung, dan yang disebut akhir ini dalam Adat
Batak dinamakan mora.
Dengan
demikian, sebuah tarombo atau silsilah keluarga suku-bangsa Batak akan mem-perlihatkan
tiga kelompok keluarga yang menjadikan “keluarga besar”, masing-masing:
kahanggi, anakboru, dan mora. Ketiga himpunan keluarga ini juga bernama Dalihan
Na Tolu (DNT), atau Tungku Yang Tiga (TYT). Ketiganya akan memainkan peran penting
dalam setiap perhelatan Adat Batak corak siriaon dan siluluton mulai dar Bona
Bulu hingga perantauan. Dalam tarombo akan segera terlihat mereka yang
segenerasi, lalu mereka yang berlainan generasi tingkat orang tua, kakek, dan
lainnya. Lalu tegur sapa (tutur) apa yang perlu digunakan untuk menyapa yang
segenerasi dan yang berbeda generasi, dan bagaimana menghindarkan rompak
tutur, dan lain sebagainya.
Mudah
difahami, dalam masyarakat Batak yang masih sederhana silam, teknologi masih
dalam zaman batu, belum ada peluang ketika itu untuk memeriksa kebenaran
pandangan Ompu Simulajadi yang bersemayam dalam fikiran orang-orang Batak di
Bona Bulu, terhadap Alam Raya yang sebenarnya yang ada di luar sana. Sebelum
masuknya abad pertengahan di Eropa, orang-orang diseantero jagad masih menganut
pandangan Ptolo-maëus yang mengatakan bahwa bumi ini adalah pusat dari segala peredaran
benda langit di alam Raya termasuk juga matahari. Cara pandang Alam Raya
demikian dinamakan: ajaran geosentris. Sri Paus, pemegang Tahta Suci di
Vatican, Roma, Italia, kala itu, juga menganut ajaran geosentris karena tidak
menyalahi Kitab Suci, lalu menjadikannya pe-gangan hidup umat Katholik di
seluruh dunia.
Akan
tetapi dengan datangnya abad pertengahan, Koppernigt (Copernicus 1473-1543)
seorang ilmuwan dan astronom kebangsaan Polandia membantahnya, dan mengatakan
bahwa mataharilah yang menjadi pusat peredaran segala benda-benda langit.
Bantahan ini melahirkan cara pandang Alam Raya yang baru dikenal dengan: ajaran
heliosentris. Galileo Galilei (1564-1642), seorang cendekiawan dan astronom
Italia ketika itu mem-buktikan kebenaran Koppernigt dengan teleskop bikinannya.
Namun malang, Galileo dinyatakan bersalah oleh kelancangan membenarkan ajaran
heliosentris, sehingga harus menjalani tahanan rumah sampai dengan akhir
hayatnya. Baru pada bulan Mei tahun 1994, 600 tahun kemudian, hukuman itu
dicabut oleh Paus Yohannes Paulus II, setelah ia terlebih dahulu meminta maaf
atas kekeliruan rekan pendahulunya, yang ketika itu men-duduki Tahta Suci di
Vatican.
Memasuki
penggal kedua abad ke-20. ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat kemajuannya
membuat Niels Armstrong, warga negara Amerika Serikat menjadi manusia pertama
yang berhasi menginjakkan kaki di permukaan bulan. Berbagai satelit cerdas pun
melanglang buana menjelajah angkasa hingga melampaui batas tatasurya; dan
orang-orang Batak pun mulai menyadari, bahwa ajaran Ompu Simulajadi tentang
Alam Raya terbukti tidak sesuai dengan kenyataan. Banua-Ginjang bernama Surga
ternyata tidak terdapat di atas sana. Banua-Tonga dimana manusia, hewan, dan
tumbuh-tumbuhan berada hanyalah muka bumi yang bulat bagai bola. Adapun yang
dinamakan Banua-Toru tidak lain dari bumi yang bundar berikut isinya.
Lalu
muncul dualisme pandangan terhadap Alam Raya dalam masyarakat Batak: sebuah
berasal dari ajaran Ompu Simulajadi yang telah berseayam dalam fikiran
kebanyakan orang-orang Batak yang percaya, dan lainnya kebenaran Alam Raya yang
sebenarnya terdapat diluar sana. Usai penggal kedua abad ke-20, dunia pun
memasuki milenium ke-tiga, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
cepat mengalihkan perhatian umat dari muka bumi menuju angkasa. Dalam ruang
antar planit yang hampa, gaya tarik bumi tidak lagi berperan, mana yang dinamakan
atas atau bawah bukan lagi persoalan, ternyata Trilogi Batak ajaran Ompu
Simulajadi silam menunjukkan “pemahaman baru”.
Dengan
menempatkan Alam Benda, dimana: manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan lainnya di
tengah sebagai Alam Kedua, menurut pemahaman yang baru, maka
harus terdapat Alam Pertama dari mana semuanya berasal. Lalu,
usai menjalani kehidupan Alam Kedua,
perlu adanya Alam Ketiga kemana semuanya akhirnya menuju.
Adapun ajaran Alam Raya yang mengatakan
adanya Banua-Ginjang (di Atas), Banua-Tonga (di Tengah), dan Banua-Toru
(di Bawah), muncul dari pemikiran suku-bangsa Batak saat itu ialah oleh adanya
"medan gravitasi" yang ada di permukaan bumi dan menguasai sega-lanya.
Dengan kehadiran medan gravitasi bumi orang lalu mengetahui arah yang disebut:
atas dan bawah. Dan dari yang akhir ini lalu muncul beragam arah lainnya.
Lahir
dengan demikian Trilogi Batak pemahaman baru, masih tetap STA, namun beru-bah
menjadi: Alam pertama, Alam Kedua, dan Alam Ketiga.
Artinya, masih tetap kue ta-lam lapis tiga warna: putih, merah, hitam lebar, meski
tidak lagi perlu tergolek di atas ta-lam yang luas, cukup mengambang di angkasa
yang bebas dari medan gravitasi bumi. A-dapun “pemahaman lama” ialah yang dikemukakan
Ompu Simulajadi, yakni: Banua- Ginjang, Banua-Tonga, dan Banua-Toru
berada dibawah pengarh medan gravitasi bumi.
Manakala
Alam Kedua dinyatakan sebagai Banua Na Marpamatang (Alam Yang Ber-badan)
bersifat kebendaan (material), maka Alam Pertama dan Alam Ketiga seyogya-nyalah
berwujud Banua Naso Marpamatang (Alam Yang Tak-Berbadan), atau Alam
Transenden (Transcendant), karena samasekali bukan bersifat kebendaan
(immaterial). Lantas bagaimanakah wujudnya? Belum dapat diketahui sampai
saat ini! Lalu mungkinkah Alam Pertama dan Alam Ketiga sama? Tentu saja
mungkin, akan tetapi dapat juga tidak sama. Dua alam dapat dikatakan sama,
apabila dapat dibuktikan keduanya benar-benar sama; dan dikatakan bebeda, manalala
keduanya memang benar-benar tidak sama. Peluang Alam Pertama dan Alam Ketiga
sama, atau berbeda, sama besar, karena itu tidak satupun yang dapat mengalahkan
yang lain.
Apabila
Alam Pertama dan Alam Ketiga sama dan transenden, tondi dalam perjalanannya
akan bergerak melingkar. Perjalanan demikian ibarat tondi yang baru saja
meninggalkan Alam Kedua, lalu kembali lagi ke alam yang sama. Hal ini
mengingatkan sebuah perjala-nan reinkarnasi dalam kehidupan dunia.
Apabila kedua alam transenden ini berlainan, maka tondi akan bergerak dalam
garis lurus. Perjalanan tondi demikian mengukuhkan kembali Trilogi Batak, dan
melahirkan pemahaman baru ajaran Ompu Simulajadi yang mengajarkan adanya tiga Banua di Alam Raya yang
mengitari kehidupan ini.
Mungkin
saja Ompu Simulajadi suku-bangsa Batak pertama ada silam, telah sejak semula
memiliki pandangan kedua, dimana kue talam besar berlapis tiga warna: putih,
merah, hitam, mengambang di angkasa; bukan pandangan pertama dimana kue talam
besar lapis tiga yang berwarna tergolek di atas talam amat luas, karena memang
dari sejak dahulu, suku-bangsa Batak telah mengetahui adanya berjenis alam
termasuk yang transenden terdapat di luar alam kebendaan yang material. Akan
tetapi, karena kebanyakan warga masyarakat Batak ketika itu belum dapat
mencernanya, maka disampaikanlah gagasan kue talam besar lapis tiga berwarna yang
tergolek di atas talam amat luas. Benarkah de-mikian, wallahualam bissawab, tak
seorang pun yang mengetahui!
Keluarga
Suku-bangsa Batak
menyebut masyarakat terkecil berdiam di Banua-Tonga dengan se-butan: suhut.
Suhut adalah keluarga batih atau nuclear family terdiri dari unsur-unsur: A-ma
(Ayah), Ina (ibu), dan Anak (laki-laki atau perempuan). Ama, Ina dan Anak men-jadikan
Trilogi Keluarga Batak, disingkat TKB, yang menjadikan sebuah komunitas dalam
masyarakat. Tanpa ketiga unsur dikemukakan diatas masyarakat terkecil dinama-kan
suhut tidak akan terbentuk. Ama yang mengepalai suhut memperoleh gelar: Suhutsihabolonan.
Manusia
Suku-bangsa Batak
memandang manusia sebagai individu juga sekaligus sebuah trilogi Batak yang dinamakan:
Trilogi Jolma Portibi, disingkat TJP, artinya Trilogi Manusia Bumi, disingkat
TMB. Dalam pandangan Ompu Simulajadi, manusia tidak lain dari: “Tolu Na
Marsada” atau Tiga Yang Menyatu, artinya adanya tiga unsur yang menyatu menjadikan manusia, masing-masing: Tondi,
Roha, dan Pamatang.
Tanpa tondi, orang menjadi hilang kemanusiaannya: motivasi, kemauan,
semangat, kharisma, dalam kehidu-pan di Banua-Tonga; tanpa roha orang
akan kehilangan ingatan (memory) alias pikun; dan tanpa badan (pamatang)
manusia hilang keberadaannya di Banua-Tonga atau bumi ini alias meninggal
dunia. Dengan demikian pamatang atau badan adalah tandatangan manusia diatas
kertas kehidupan di muka bumi ini.
Jiwa
Tondi (ruh/jiwa/khariama) yang mendiami
alam bukan-benda (Banua Naso-Marpama-tang), menurut kepercayaan suku-bangsa Batak
dapat bepergian meninggalkan pamatang (jasmani) ketika orang sedang tidur, atau
ketika sedang sakit, atau keadaan tidak normal lainnya. Tondi merupakan sebuah
badan halus (superbeing) yang harus ada dalam setiap kehidupan, apapun
ragamnya. Seorang insan dalam Adat Batak adalah seumpama: “pira manuk na
nihobolan” (telur ayam yang dikebalkan), diwujudkan dengan sebutir telur
ayam rebus. Yang kuning berada ditengah melambangkan tondi (badan halus)
manusia, dan yang putih mengitari memperlihatkan badan kasarnya, lalu yang
terselip diantaranya ialah apa yang
dinamakan roha dan menjembatani kedua yang disebut sebelumnya.
Tondi
yang membedakan seorang insan dari lainnya, dan diperlihatkan oleh
semangat, emosi, kharisma, dan bahasa badan (body language) yang ditampilkan keluar.
Diibarat-kan sebuah mobil melaju di jalan raya, apabila dikemudikan orang yang
berlainan, a-kan memperlihatkan tingkah laku gerakan kendaraan yang berbeda.
Dengan analogi yang sama, manakala jasmani seseorang ditempati tondi yang bukan
miliknya sejak lahir kare-na sakit misalnya, akan memperlihatkan kelakuan atau
sifat yang bukan aslinya. Walau berbagai pengetahuan tentang tondi telah
terkuak kepada manusia dari pengalaman dan pergaulan hidup sehari-hari di Banua-Tonga,
namun inilah alam bukan-benda pertama yang ada dalam diri manusia yang
terus menyimpan teka-teki yang masih sedikit sekali terungkap sampai kini.
Akal
Roha (akal/budi/fikiran) juga berada dialam
bukan-benda. Inilah yang disebut kecerdasan sebenarnya (the true intelligence),
lawan dari kecerdasan buatan (the artificial intelli-gence) yang berhasil
dikembangkan manusia, kini mengendaliakn berbagai peralatan canggih bikinan
manusia, antara lain: teknology bedah tubuh jarak jauh, aneka ragam robot,
peluru kendali, berjenis roket, sampai dengan satelit. Ini pula yang
diungkapkan Sokrates (470-399 SM), pemikir Yunani dari Athena di zaman
praklassik silam, yang hasil pemikirannya tentang hal ini diungkapkan filosof
Jerman Windelband (1848 -1915), penganut aliran idealisme subjektif, dengan rangkaian
kata: “Die immateriele Welt ist endeckt, und das Auge des Geistes hat sich nach
innen aufgeschlagen”, atau dalam bahasa Batak: “Banua naso marpamatang
tarungkap madung, mata ni roha manaili tu ba-gasan”; lalu oleh Dr. Mohammad
Hatta diindonesiakan menjadi: “Alam tidak bertubuh diketahuilah sudah, dan mata
fikiran pun memandanglah kedalam”.
Sebagaimana
komputer, telepon genggam (feature phone), telepon cerdas (smart phone), tablet
(electronic reader), dan perangkat pintar (gadget) lainnya, adalah perpaduan
perangkat-keras (hardware) dengan perangkat-lunak (software) yang dapat melakukan
beragam pekerjaan, maka Roha pada mnusia boleh juga dinamakan perangkat lunak
insani (human software), disingkat peran-insani (human-ware), yang dibutuhkan untuk
menjembatani Tondi dengan Badan, sehingga pamatang (jasmani) dapat melaksanakan
berbagai pekerjaan sebagaimana yang dikehandaki Tondi, berangkat dari
kemampuan, keterampilan, bidang profesi yang digeluti seseorang. Pemrograman
Roha itu sendiri te-lah dimulai sebelum manusia lahir ke dunia, dilanjutkan
setelah lahir lewat: pendidikan, pelatihan, jabatan, pengalaman hidup, dan
lainnya; berlangsung tidak pernah berhenti selama hayat dikandung badan,
berangkat dari pandangan hidup yang dimiliki manusia bersangkutan.
Roha
Roha (Alam
Kedua bukan-benda) yang terdapat dalam diri manusia inilah yang oleh
segelintir negara: Eropa, Amerika Utara, dan Asia Timur; itu pun digeluti oleh jumlah
ke-cil warganya (sumber daya manusia) lewat kegiatan akademik berjenjang dari
rendah hingga tinggi, menjadikan negara-negara tersebut dengan cepat terkemuka
di muka bumi, setelah menerima buah fikiran Yunani yang diantarkan
bangsa Arab pada Abad Perte-ngahan ke bagian dunia itu.
Diawali
penghujung abad ke-19 silam, lalu sepanjang abad ke-20, dilanjutkan abad ke-21
kini, berbagai negara Eropa: Inggris, Perancis, Jerman dan lain sekitarnya; kemudian
Amerika Utara: Amerika Serikat; lalu Asia Timur: Jepang; menjadi sadar akan apa
yang diutarakan Sokrates tentang
keperkasaan “Banua Naso Marpamatang terdapat dalam diri Sumber Daya Manusia”
bernama Roha bangsa masing-masing, dengan cepat mengem-bangkan: pendidikan,
industri, laboratorium, penelitian, sumber daya alam, dan lainnya dalam ajaran
ekonomi Laissezfaire (perdagangan bebas), dalam rentang waktu kurang dari 150
tahun, berhasil mengubah peradaban manusia: dari serba berjalan kaki dan menunggang
ternak (kuda, lembu, dan lainnya) dimana-mana di seantero muka bumi
ini, menjadi peradaban kendaraan bermotor: mobil, kereta api, kapal laut,
pesawatterbang, dan penjelajahan antariksa.
Penyampaian
berita pun diawali cara fisik dari mulut ke mulut, beragam tetabuhan, sam-pai
surat; lalu diubah menjadi elektronik: radio, telepon, televisi, ponsel,
internet. Bekerja di kantor, pabrik, lapangan, dan lainnya, dengan Information
Communication and Tech-nology (ICT), atau Teknologi Komunikasi dan Informatika
(TKI), diubah menjadi beker-ja dari mana saja orang suka melakukannya di bumi
ini. Masih banyak lagi kemajuan lain yang tidak mungkin diutarakan satu
persatu, yang akan terus berkembang menuju ke arah yang semakin memudahkan
hidup manusia di Banua-Tonga, atau bumi.
Segelintir
negara disebutkan lalu menjadi teladan umat manusia, menyebabkan
lainnya: dari Utara ke Selatan, dan dari Barat ke Timur, termasuk Timur Tengah,
Asia Tenggara, dan belahan bumi lain yang tertinggal, lalu berlomba-lomba
mengembangkan “Roha” warga negara
masing-masing dengan menyimak apa yang telah dikatakan Sokrates. Me-reka melaksanakan
pemberantasan buta huruf, segera mengembangan pendidikan berjen-jang berbagai
ilmu dan keterampilan guna mengejar ketertinggalan masing-masing dari
segelintir negara terkemuka yang telah disebutkan.
Kendati
roha telah banyak diungkapkan para ahli berbagai negara maju lewat penyeli-dikan
ilmu pengetahuan dan teknologi, laboratoriun, industri, tambang, archeologi,
pene-litian antariksa, dan lain sebagainya, terekam dalam tidak terbilang jumlah
buku, jurnal, dan lainnya, baik tradisional, elektronik, dan digital, namun
alam bukan-benda kedua terdapat dalam diri manusia bernama “Roha” ini masih
saja menyimpan banyak rahasia atau misteri
yang belum diketahui hingga saat ini.
Jasmani
Pamatang (tubuh, badan, jasmani), ialah
bukti keberadaan manusia di Banua-Tonga atau Alam Kedua di bumi atau alam fana
ini. Jasmani juga dapat dikatakan cap jempol seseorang di atas lembar kertas
kehidupan di muka bumi. Dengan badan, si A, si B, si C dan seterusnya dapat dikenali
dan dibedakan satu dari lainnya; mereka pun dapat saling berkenalan, bergaul dan
berbincang guna bertukar fikiran. Temuan Human Genome Project, atau Proyek Gen Manusia, yang dipimpin Craig Venter dari
Amerika Serikat, salah satu dari segelintir negara terkemuka dunia, pada
tanggal 11 Febrruari 2001 ilmuwannya berhasil mengungkapkan, bahwa terdapat
30.000 gen dalam tiap tubuh manusia yang bertanggungjawab terhadap kehidupan insan,
dan senantiasa membuka dan menutup dalam melakukan tugasnya dalam perjalanan
waktu. Dan hanya gen-gen yang membuka saja yang mengendalikan semua sel yang terdapat dalam tubuh manusia yang bilangannya
diperkirakan berjumlah 3.000.000.000. sel.
Tubuh
manusia yang terdapat di Alam Kedua (Alam Benda), begitu juga hewan dan tumbuhan,
terbentuk dari berbagai sistim kehidupan yang rumit (biologi), antara lain: pe-redaran
darah, pencernaan, pernafasan, pengindraan, syaraf, dan lain sebagainya. Selain
dari itu, kesemua sistim yang dikendalikan puluhan ribu gen terbuka pada
manusia, harus pula bekerjasama dalam sebuah orkestra harmonis guna menjadikan
tubuh tetap sehat tempat tondi dan
roha bersemayam. Kegagalan badan atau jasmani menjadi sehat oleh berbagai
alasan, antara lain: penyakit, kecelakaan, sampai dengan uzur, akan membuat
tondi dalam perjalanan waktu meninggalkan badan di Alam Kedua (Alam Benda) dan
melanjutkan perjalanan ke Alam Ketiga.
Meski
jasmani telah banyak dipelajari oleh para ahli khususnya bidang ilmu kedoktern
di berbagai negara maju, ialah bagian Trilogi Manusia Bumi yang paling banyak
dan sering dikaji di muka bumi saat ini, namun bukti keberadaan manusia
di Alam Kedua ini masih menyimpan banyak
rahasia yang belum dapat diungkapkan semuanya, apakah tubuh ma-nusia itu sesungguhnya?
Ketibaan
Mahluk
Ketika tondi sampai di perbatasan Alam
Pertama (bukan-benda) dengan Alam Kedua (benda), dalam perjalanan Tondi
menurut “pemahaman baru”, atau setelah di turun dari Banua-Ginjang menghampiri
BanuaTonga dalam “pemahaman lama”, ia terlebih dahulu perlu menjemput benda
(materi) guna menyatakan keberadaannya di Alam Kadua atau Banua-Tonga. Materi
adalah sesuatu yang terdapat di Alam Kedua dan tunduk pada hukum alam
atau fisika, karena memiliki berat (massa) dan mengambil ruang.Segala
sesuatu yang ada, tetapi tidak mempunyai massa dan tidak menempati ruang, pasti
bukan-benda (immaterial) dan akan terdapat di Alam Pertama,
dan/atau Alam Ketiga. Perpaduan Tondi, Roha, dan Pamatang
dalam Adat Batak diperlihatkan dengan “pira manuk nanihobolan”. Tondi:
ialah kuning telur ada di tengah, Pamatang dengan putih telur yang
mengitari. Sedangkan Roha ialah selaput terselip yang memisahkan
kuning dari putih telur.
Pertemuan
“Tondi” dengan “Pamatang”, setelah yang disebut pertama turun dari Banua
Ginjang sampai di perbatasan Banua Tonga, atau turun dari “Alam Pertama” dan
sampai diperbatasan “Alam Kedua”, pada manusia bermula dari konsepsi
(conception) setelah sepasang insan, yakni: laki-laki dan perempuan
berhubungan. Konsepsi adalah juga Tondi yang turun dari Banua Ginjang, atau
Alam Pertama, dan berhasil mendapat pinja-man badan (materi) dari Banua-Tonga,
atau Alam Kedua, lalu berubah jadi benih yang dapat melakukan pembelahan sel
menjadi janin. Dan yang akhir ini selnjutnya tumbuh dan berkembang karena memperoleh
pemasukan bahan (materi) dari Banua-Tonga atau Alam Kedua, kini dari ibu yang
mengandung sapai lahir ke dunia sebagai bayi.
Setelah
lahir, bayi melanjutkan kegiatan mengumpulkan bahan (materi), kini diluar kan-dungan
dengan menyusu kepada ibu, juga mendapat makanan dan minuman yang dibe-rikan
langsung oleh orang tua, baik yang untuk menambah berat badan maupun guna me-numbuhkan
tinggi badan, demikian yang memelihara kesehatan selama pertumbuhan menjadi: anak, akil balig, remaja, hingga
memasuki usia dewasa.
Sesudah
dewasa, kegiatan menghimpun bahan (materi) terus berlanjut, tetapi kini bukan
lagi dari pemberian orang tua, melainkan usaha mencari nafkah sendiri. Pada
usia dewasa materi yang dihimpun lewat kegiatan makan, minum, dan bernafas
sebahagian besar digunakan untuk metabolisme (pertukaran zat) dalam tubuh
berlangsung cara kimia, se-perti untuk kebutuhan: perbaikan jaringan tubuh,
menyediakan tenaga (energi), pertu-karan zat, dan lainnya, guna menjaga tubuh
agar sehat selalu sampai ke batas usia.
Sementara
hewan juga ada yang mengikuti cara manusia, tetapi tidak sedikit yang mem-buat pinjaman
materi untuk generasi penerus dengan bertelur, dan kehidupan dipicu suhu panas pengeraman.
Pada tanaman telur diganti dengan benih (bibit) dan kehidupan dipicu lembab
(air) bersuhu lingkungan. Menurut
ahli kesehatan, pertukaan zat berjalan tidak berkeputusan dalam tubuh manusia
sepanjang hayat membuat yang disebut terakhir, atau bukti keberadaannya di
dunia, berganti semuanya, mulai kulit yang terluar di permukaan sampai bagian
tubuh terdalam sekitar tujuh tahun
sekali. Itulah sebabnya mengapa bayi lahir ke dunia lalu menjadi besar dengan:
makan, minum, bernafas, dan bergerak; lalu bertambah beratnya, bertukar wa-jahnya,
berubah bentuknya, bertambah pengetahunnya, dan lain sebagainya hingga de-wasa.
Seorang anak usia diatas 7 tahun dengan demikian tidak lagi menyimpan benda
(materi) yang didapat dari kedua orang tua saat konsepsi berlangsung. Kini seluruh
benda (materi) yang terdapat dalam tubuh anak semata perolehan kegiatan makan
dan minum pemberian orang tua saja. Kedua orang tua anak ini, menurut ahli
kesehatan tadi, juga telah berganti dari sepasang manusia yang pernah
meminjamkan materi kepada anak, menjadi pewaris dari pasangan orang tua yang
pernah meminjamkan benda (materi) kepada anak silam. Hubungan pasangan orang
tua dengan anak yang masih tersisa kini hanya tinggal sejarah.
Metabolisme
dalam tubuh didukung kegiatan: makan, minum, bernafas, dan bergerak menyebabkan
setiap manusia menukar tubuh (jasmani) secara berkala, membuat orang-orang yang
ada dimana saja di muka bumi ini sama adanya, kecuali yang diatur gen seba-gainana
hasil penelitian Proyek Gen Manusia, antara lain: bangun tubuh, warna kulit,
dan sejumlah hal khusus lainnya, meski hal-hal yang dikemukakan akhir ini tidak
tidak ber- pengaruh banyak dalam hidup sehari-hari selain pengenal diri atau
identitas. Karena itu benarlah apa yang dikatakan orang-orang tua di Bona Bulu
dahulu, agar anak-anak yang telah dewasa sebaiknya diperlakukan sebagai dongan
(sahabat), dan tidak lagi sebagai anak.
Ini disebabkan anak yang sudah dewasa telah sempurna metamorphosa tubuhnya
menjadi orang lain lewat pergantian jasmani yang berlangsung berulangkali
sebagaimana yang dikatakan ahli kesehatan disebutkan diatas.
Orang
yang mencapai usia 63 tahun setidaknya telah mengganti tubuhnya 9 kali lewat
pertukaran zat yang berlangsung 7 tahun sekali. Pelaku kejahatan yang menjalani
hu-kuman penjara lebih dari 7 tahun dengan demikian telah digantikan oleh pewaris
yang bukan lagi pelaku kejahatan, karena tubuh yang ada padanya sekarang tidak
pernah ter-libat dalam kejahatan yang dituduhkan dalam Berita Acara Pemeriksaan
(BAP). Pelaku kejahatan tercantum dalam BAP sebetulnya telah lama meninggalkan
penjara lewat meta-bolisme tubuh yang tidak diketahui sipir penjara yang bertugas
mengawasinya.
Tampak
disini hukum alam yang bermain di dunia renik (alam atom dan molekul) tidak harus
harus sejalan dengan keputusan orang berkuasa (penegak hukum). Sebaliknya
kehidupan insan di dunia sangat tergantung kepada hukum biologi memanfaatkan
ber-jenis molekul yang membentuk sel-sel tubuh makhluk. Berbagai molekul ini
masih ter-gantung pula kepada beragam atom yang menyusunnya. Selain dari itu,
tidak dapat pula dipungkiri peran gravitasi dalam dunia renik (gaya
tarik-mearik antar atom dan gaya yang sama antar molekul) yang menjadikan
benda, termasuk yang menjadikan tubuh mahluk hidup. Tanpa kepatuhan dan
kesetiaan medan gravitasi dunia renik menunaikan tugas diemban, maka insan
bernama manusia terdiri dari kebanyakan air dan sedikit tanah ini, tidak lebih
onggokan atom tak-bernyawa tidak berguna. Akhirnya,
masih ada lagi medan gravitasi bumi yang menyebabkan manusia dapat men-jejakkan
kaki di permukaan bumi dan berbagai macam benda lain berada pada tempatya.
Kegagalan medan gravitasi akhir ini melakukan tugasnya, berakibat semua benda
yang ada di permukaan bumi akan melayang berserakan di angkasa, tidak
trekecuali mahluk yang berdiam di muka
bumi.
Orang-orang
yang meninggalkan Banua-Tonga atau Alam Kedua, sebenarnya telah berulangkali
mengembalikan tubuh mereka sedikit demi sedikit ke Banua-Tonga atau Alam Kedua,
lewat pertukaran zat atau metabolisme, akan tetapi yang dikembalikan belakangan ialah yang dimiliki 7 tahun
terakhir. Tubuh manusia terbentuk dari daging dan tulang kata orang kebanyakan,
akan tetapi ilmu pengetahuan telah membuktikan tidak lain dari sebuah tempayan
atau kendi yang dipenuhi air. Hal ini disebabkan lebih dari 70% berat tubuh
manusia adalah air, dan kurang dari 30% terdiri dari berbagai unsur kimia,
seperti: karbon (C), kalsium (Ca), kalium (K), besi (Fe), fosfor (P) dan lainnya
tidak terkecuali unsue-unsur langka bumi (rare earth), sebagaimana terdapa
dalam tabel unsur-unsur kimia yang pertama kali diungkapkan Dmitri Ivanovich
Mendeleev (1834-1907). Kembali tampak disini, dari apa yang membentuk tubuh
manusia itu, ternyata sama saja dimana-mana di muka bumi ini adalah benda
(materi) pinjaman dari Banua-Tonga atau Alam Kedua. Perbedaan dari orang gemuk
dari dari orang kurus lebih banyak ditentukan perbedaan kandungan air ketimbang
unsur kimia lainnya.
Orang
yang meninggalkan alam fana sesungguhnya sudah sampai di perbatasan Banua-
Tonga dengan Banua-Toru, atau Alam Kedua dengan Alam Ketiga, dalam perjalanan
hidupnya. Pada saat itu, tondi mengembalikan pamatang atau jasmani kembali ke asalnya,
yakni Banua-Tonga, atau Alam Kedua, karena tubuh manusia ialah semata ba-rang
pinjaman. Ini berarti mahluk hidup: manusia, hewan, dan tanaman, mengembalikan
tubuh mereka (materi) lewat dua tahap, masing-masing: tahap partial atau
sedikit demi sedikit dan tahap menyeluruh atau pengembalian belakangan. Banua-Tonga
atau Alam Kedua telah menetapkan bahwa setiap jasmani (materi) yang
dikembalikan harus di daur ulang untuk menghindarkan sampah biologi mencemari
lingkungan. Daur ulang dilakukan bermilliar bakteri yang mendiami tubuh mahluk
yang sehari-harinya bekerja mengukir tubuh agar tampak bersih, lalu kini melepaskan
gas menyengat indra penciuman menyebar ke udara. Maksudnya untuk mengundang
pendaur ulang lain datang untuk segera
menyelesaikan pekerjaan.
Adat dan
agama umat manusia mengajarkan, tubuh dikembalikan belakangan di perbata-san
Alam Kedua dengan Alam Ketiga, didaur ulang lewat: pemakaman, pembakaran
(kremasi), penenggelaman, dan pembiaran. Pada pemakaman, air dikembalikan
diserap tanaman, lalu menguap ke udara menjadi awan, akhirnya menjadi hujan kembali
ke laut. Beragam unsur kimia dikembalikan dimanfaatkan tanaman, lalu dimakan binatang
dan manusia. Pada pembakaran, air menjadi uap, lalu naik ke udara menjadi awan,
akhirnya kembali ke laut. Berbagai unsur kimia dipulangkan selain ikut terbakar,
ada juga yang menjadi abu yang disimpan
keluarga di rumah atau tempat perabuan. Pada penenggela-man, air kembali bergabung
denganrekan lainnya. Berbagai unsur kimia dikembalikan mengendap didasar badan air: kolam, sungai,
danau, laut, dan samudra, menjadi makanan tanaman dan binatang air. Pada
pembiaran, pengeringan menyebabkan air meguap menjadi awan, akhirnya kembali ke
laut. Disini terdapat peran burung bila ditempatkan pada suatu ketinggian, atau
binatang lain manakala diterlantarkan di hutan, atau tersim-pan dalam gua guna
mendaur ulang jasmani yang dikembalikan
terakhir.
Banua-Tonga
atau Alam Kedua telah menentukan sampah biologi dikembalikan partial dan
belakangan masuk kedalam “rantai makanan” (food chain). Rantai makanan pertama yang membebaskan tenaga sangat diperlukan berbagai
hewan termasuk manusia guna kelangsungan hidup. Rantai makanan jenis ini
bekerja membebaskan tenaga (energy)
matahari tersimpan dalam jasad dikembalikan lewat penguraian (decompose)
kedalam berjenis unsur-unsur kimia yang tertera dalam tabel Mendeleev. Adapun rantai
makanan kedua ialah yang merakit ulang (recompose) berbagai unsur kimia yang sudah
terurai, kembali jadi: butiran, bijian, buah, dan lain sebagainya dilaku-kan tanaman
dibantu proses photosynthesis datang dari sinar matahari untuk menyimpan tenaga (energy); juga oleh berbagai
hewan yang menghasilkan: susu, daging, madu, dan lainnya. Itulah sebabnya
mengapa tanaman sangat memerlukan zat makanan yang me-ngandung unsur-unsur
kimia perolehan daur ulang dikembalikan partial dan belakangan guna kelangsungan
hidupnya. Melalui daur ulang dan kesegeraannya, pencemaran Ba-nua- Tonga atau
Alam Kedua oleh sampah biologi dapat dihindarkan.
Pada
orang sehat, Tondi dan Roha selalu menyertai Badan berada
di Banua Tonga atau Alam Kedua. Tidak ada orang yang dapat memperkirkan berapa
lama Tondi dan Roha akan menyerai jasmani pada mahluk hidup, sampai datangnya
batas waktu yang telah ditetapkan. Ketika waku tersebut tiba, tondi akan
mengembalikan badan di perbatasan Alam Kedua dan Alam Ketiga. Dan setelah
berpisah dari badan, tidak ada lagi yang dapat diketahui orang tentang
perjalanan tondi selanjutnya menuju ke Alam Ketiga. Semula
kehidupan komunitas Batak di Bona Bulu berjalan perlahan atau alami dikenal
dengan evolusioner di beragami tempat mereka bermukim. Gelombang petama datangnya
agama Islam ke Nusantara belum menimbulkan perubahan berarti dalam kehidupaan
ma-syarakat di Tanah Batak. Akan tetapi dengan munculnya gelombang kedua yang
datang dari Sumatera Barat di selatan Tanah Batak, benar-benar menyebabkan perubahan
besar dalam kehidupan masyarakat, atau berjalan revolusioner.
Pemerintah
Hindia Belanda yang kemudian menggantikan kaum Paderi, juga membawa perubahan cepat atau revolusioner di Tanah
Batak dengan memperkenalkan kerja rodi atau kerja paksa untuk pembuatan jalan dan
jembatan. Pemerintah Hindia Belanda yang kolonial, juga mengharuskan para Raja
dan rakyat mereka di Tanah Batak membayar belasting (pajak). Dengan sistim
pemerintahan terpusat (sentralistis) yang diperkenal-kannya para Raja dan
rakyat mereka juga dijadikan bagian dari pemerintahan Hindia Belanda seberang
lautan. Para Raja di Tanah Batak diharuskan memungut belasting ber-sasaran (bertarget) pendapatan
ditentukan. Imbalan yang diberikan kepada masyarakat pada ketika itu:
pemerintahan, layanan masyarakat, jalan raya, jembatan, dan pendidikan bagi
anak-anak pribumi.
Pemerintahan
Fascist Jepang yang menggantikan pemerintahan Hindia Belanda di Tanah Batak
tahun 1942, tidak pula kalah kolonial, juga memberlakukan perubahan cepat di Ta-nah
Batak, bahkan dengan perilaku kasar dan kekejaman senjata. Jepang mengharuskan
dibentuk barisan-barisan Zikedan dan Bogodan di setiap kampung Tanah Batak
untuk menghimpun pemuda untuk dijadikan heiho (pembantu prajurit Jepang) dan
romusha (pekerja rodi Jepang). Mereka juga memaksa rakyat menyerahkan hasil
bumi, baik yang dibayar dengan uang Jepang maupun yang tidak mendapat bayaran
samasekali. Setelah Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu pimpinan Amerika Serikat
di peghujung Perang Dunia Ke-II silam, pemimpin pergerakan NRI (Negara Republik
Indonesia) di Tanah Batak lalu mengambil alih pemerintahan. Kaum pergerakan
anak-anak bangsa ini juga tidak luput membuat perubahan cepat di Tanah Batak
menggerakkan rakyat melakukan revolusi, guna menentang Belanda kembali datang menjajah
di tanah-air dan menjanjikan hidup bebas dari kemiskinan setelah memasuki alam
kemerdekaan.
Memasuki
alam kemerdekaan, pemerintah NRI keresidenan Tapanuli dengan ibukotanya
Tarutung mengeluarkan pula ketetapan Residen Tapanuli No.: 274 tertanggal 14
Maret 1946, dan No: 1/D.P.T. tertanggal 11 Januari 1947 yang ditandatangani Dr.
F.L. Tobing. Adapun isi ketetapan Residen Tapanuli tadi ialah: Para Raja yang
masih menjabat di pemerintahan, maupun mereka yang masih berhubungan dengan
kegiatan wilayah publik di seluruh Tanah Batak, apapun jabatannya,
diberhentikan dengan hormat. Para pejabat pemerintah yang diangkat untuk menyelenggarakan
pemerintahan di Tanah Batak akan dipilih secara demokratis oleh Pemerintahan
Republik Indonesia. Dengan demikian seluruh pemerintahan yang semula dijalankan
menurut adat Batak sempat, yang masih diperkenankan dalam zaman pemerintahan
Hindia Belanda di tingkat Bona Bulu/Huta, sejak saat bersejarah itu terpaksa harus
tersingkir dari wilayah publik, dan beralih ke ranah seremonial
perhelatan Adat Batak semata.
Gelombang
perubahan cepat melanda Tanah Batak, sejak PerangPaderi, penjajahan Hindia Belanda, penjajahan Fascist Jepang,
revolusi dan perang kemerdekaan, hingga memasuki zaman kemerdekaan; telah
menyebabkan masyarakat di Tanah Batak dari Bona Bulu sampai tanah perantauan
menjadi terbuka dan menerima kenyataan. Kini memasuki abad ke-21, mereka telah
pula menerima berbagai pengaruh lain, termasuk dampak globalisasi dunia
(Internasionalisasi) dengan munculnya: pandangan hidup dengan kerohanian beragam,
akibat serbuan budaya dari beragam bangsa, musik pop, ilmu pengetahuan dan
teknologi aneka ragam disiplin, yang mengantarkan umat manusia memasuki
peradaban millenium ketiga.
Apapun
pengaruh yang telah mendera masyarakat di Tanah Batak, apapun ragam maupun
bentuknya, mulai dari waktu silam hingga sekarang, baik terhadap masyarakat
yang ber-diam di Bona Bulu maupun yang telah berada di perantauan, kenyataan
masih memper-lihatkan sebagaimana yang diajarkan Ompu Simulajadi tentang segala
yang ada, dan te-tap saja serba-tiga keadaannya, yakni:
Pertama. Dengan timbulnya keberagaman pandangan
agama, masyarakat Batak di Bona Bulu demikian juga mereka yang berada perantauan
lalu menganut monotheisme, yakni beriman kepada Tuhan Yang Esa, karena banyak
persamaannya dengan ajaran Ompu Simulajadi. Kepada mereka yang beragama Islam,
ini berarti mengakui kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, artinya tiada Tuhan selain
Allah. Dan ini menunjukkan Semangat Ketuhanan; yang dalam bahasa Arab
diungkapkan rangkaian kata: Hablumminallah.
Kedua. Dengan munculnya berbagai pengaruh budaya
dan ilmu pengeauan dari segala penjuru dunia dalam kehidupan masyarakat Batak
dari Bona Bulu sampai perantauan, menebabkan adat-istiadat warisan leluhur silam
diperkaya, dan pengayaan datang dari lingkungan-lingkungan Nasional dan
Internasional. Berbagai pengaruh tadi menyebabkan suku-bangsa Batak melebarkan pandangan
hidupnya: dimulai kesukuan yang sempit asal Bona Bulu silam, menjadi Nasional
yang lebih luas, lalu Internasional yang gelobal; sekaligus menjadikan mereka semuanya
bagian dari masyarakat dunia. Kepada mereka yang beragama Islam ini menunjukkan
Semangat Kemanusiaan; yang dalam bahasa Arab diungkapkan dengan
rangkaian kata: Hablumminannas.
Ketiga. Perkebangan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah mengantarkan kemajuan sosial, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat Batak
mulai dari tingkat Bona Bulu silam, lalu Nasional, dan Internasional,
menyebabkan suku-bangsa Batak dari Bona Bulu hingga perantauan turut
menikmatinya. Karena itu ikut bertanggungjawab terhadap ling-kungan hidup,
tidak semata Bona Bulu, tetapi juga Nasional dan Dunia hingga tepian Alam Raya.
Bukankah dalam Al-Quran ‘ul Karim tercantum surat 2:11, yang menyeru-kan
“….jangan kamu membuat kerusakan di muka bumi….”, lalu diulang dalam berbagai surat-surat
yang kemudian menyusul. Kepada mereka yang beragama Islam ini memperlihatkan Semangat
Memelihara Lingkungan Hidup; yang bila diutarakan dalam bahasa Arab akan
melahirkan untaian kata: Hablumminalkaun.
Dengan
demikian Hablumminallah, Hablumminannas, dan Hablumminalkaun, menjadi
Sekawan Pernyataan Insan (SPI), yang tidak asing di telinga suku-bangsa Batak yang
beragama Islam, karena sejalan dengan pandangan Ompu Simulajadi tentang Alam
Raya di Tanah Batak silam, tentang adanya: Banua-Ginjang, Banua-Tonga, dan
Banua- Toru yang mengitari kehidupan mahluk di bumi. Hablumminallah
merupakan penyera-han diri insan kepada Khalik Sang Pencipta arah vertical;
lalu Hablum minannas ialah persaudaraan sesama insan yang horzontal
di muka bumi, sedangkan Hablumminal-kaun menjadi tanggungjawab
manusia terhadap lingkungan hidup tempat keberadaannya yang menampung semuanya
dari dimana kaki berpijak sampai ke tepian Alam Raya.
Apapun ajaran
agama yang dianut suku-bangsa Batak mengatur hubungan insan dengan Sang
Khalik yang vertikal tidak diragukan lagi berawal dari pandangan Ompu
Simulajai silam, sedangkan hubungan sesama umat manusia yang horizontal
berawal dari Adat Batak di Bona Bulu silam, lalu meluas jadi nasional dalam
negara, kemudian menjadi antarbangsa di
dunia Internasional; melahirkan adat-istiadat kehidupan manusia. Adapun
hubungan manusia dengan lingkungan tempat keberadaannya di muka bumi
diawali peradaban zaman batu silam,
lalu beralih menjadi peradaban zaman logam, kemudian berkembang menjadi peradaban
ilmu pengetahuan dan teknologi, disingkat Iptek.
Dengan
demikian Agama, Adat-istiadat, dan Iptek yang telah diraih manusia telah meru-pakan
Sekawan Perangkat Insan (SPI) untuk meraih: kemajuan, perdamaian, dan kesejah-teraan
manusia di bumi kedepan menelusuri abad ke-21. Khusus untuk suku-bangsa Batak
SPI merupakan lanjutan dari trilogi ajaran Ompu Simulajadi memasuki millenium
ketiga.
Catatan:
Paukpauk
Hudali, Pagopago Tarugi; Na Tading Taulahi, Na Sego Tapauli.
(Dikutip dari tarombo Marga Siregar Bunga Bondar oleh Tulang Sutan Habiaran Medan)
Penyusun:
H.M.Rusli Harahap
Jalan Batu Pancawarna I/2A,
Pulomas
Jakarta.13210. Indonesia.
------------------
selesai -----------------